Dalam upaya meningkatkan SDM perbankan syariah yang terampil, berbagai program terus digiatkan oleh STAI Mathali’ul Falah dengan menyelenggarakan edukasi public (16/4) bertemakan “Penguatan Akses Masyarakat Terhadap Lembaga Keuangan Sebagai Sarana Untuk Menggerakkan Sektor Riil di Masyarakat Bisnis”. Ini merupakan rangkaian acara kedua setelah sebelumnya (15/4) diselenggarakan workshop yang menghadirkan DSN MUI. Hadir sebagai narasumber Bpk. Muliaman D. Haddad, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI). Perserta yang jumlahnya tidak kurang dari 300 orang terdiri dari berbagai elemen meliputi lembaga keuangan syariah, koprasi, tokoh agama, civitas akademik STAIMAFA dan elemen masyarakat yang lain. Program tersebut terselenggara atas kerjasama STAIMAFA dengan Kojaya.
Edukasi publik mengenai jasa lembaga keuangan yang menjadi tujuan acara tersebut diharapkan tidak hanya dimanfaatkan oleh masyarakat dan lembaga keuangan tapi juga masyarakat pesantren yang banyak ditemukan di Indonesia. Dalam sambutannya, Ketua STAIMAFA, Abdul Ghaffarrozin, mengatakan bahwa kebutuhan tenaga perbankan syariah yang masih tinggi memerlukan perbaikan dan peningkatan SDM yang mampu menguasai teori ekonomi modern sekaligus  agama sehingga ada keselarasan antara keilmuan dengan keterampilannya.
Kemudian di awal paparannya, Muliaman menyampaikan bahwa semakin dekat pelayanan jasa lembaga keuangan pada masyarakat, akan semakin baik proses pengentasan kemiskinan yang ada. Karena itu, BI terus mengupayakan bagaimana lembaga-lemabaga keuangan bisa lebih dekat pada masyarakat dan tidak hanya dinikmati oleh orang kota namun orang-orang kecil juga memiliki akses, pemahaman danpemanfaatan yang sama.
Lebih lanjut Muliaman menyampaikan bahwa istilah “financial inclusion” berarti semua orang bisa merasakan dan dekat pada jasa keuangan di sekitarnya baik itu para pengusaha mikro, pedagang sayur, BMT, maupun koprasi-koprasi yang ada. Dalam pelaksanaannya, tidak hanya bank yang dapat memberikan pelayanan jasa keuangan pada masyarakat tetapi hal itu menjadi tugas bersama meliputi BPR, BMT, koprasi maupun lembaga keuangan lainnya bisa berperan penting demi kemajuannya.
Lebih lanjut Muliaman menyebutkan bahwa ada beberapa factor yang menjadi penyebab terjadinya gap antara perbankan dengan masyarakat di pedesaan:
Pertama, kurangnya pengetahuan oleh SDM perbankan yang bisa melayani masyarakat mikro padahal potensinya sangat besar secara ekonomi. Untuk itu perlu kreativitas lembaga keuangan yang memiliki pendekatan mikro. Dia mencontohkan bahwa di Jabotabek, pada hari libur kantor-kantor bank dijadikan pelatihan-pelatihan bagi para nasabah mikro.
Kedua, adanya distance atau jarak antara lembaga keuangan dengan masyarakat. Hal ini bisa ditangani dengan dukungan teknologi informasi seperti HP yang bisa mendekatkan nasabah dengan perbankan.
Dan ketiga, gap lain disebabkan oleh persayaratan perbankan yang tidak bisa dipenuhi oleh nasabah seperti soal agunan yang sering menyulitkan masyarakat dalam memperoleh jasa keuangan perbankan.
Pada intinya, Inclusive finance atau pelayanan jasa keuangan yang terbuka sangat didorong oleh BI agar kesenjangan antara bank dengan sector riil tidak terjadi lagi. Ketika pelayanan keuangan bisa masuk ke masyarakat dan pedesaan, tentunya akan menyentuh persoalan ekonomi riil dan semua itu akan membantu terwujudnya kesejahteraan masayakat secara umum. Itulah cita-cita besar yang harus diupayakan secara bersama-sama melalui berbagai langkah seperti MoU, sosialisasi jasa keuangan, pendirian prodi di sekolah tinggi maupun universitas, pemberdayaanmasyarakat, pelibatan pejabat dan lain sebagainya (Edz).