Pertanyaan :  
Saya pernah diajak oleh teman untuk berpura-pura menawar dagangannya supaya orang lain juga terpancing menawar. Apakah yang demikian itu diperbolehkan dalam Islam?
Yeyen, Dukuhseti Pati 

Jawaban :
Berpura-pura melakukan penawaran atas suatu dagangan dengan tujuan mempengaruhi orang lain untuk ikut membeli atau menaikkan tawarannya disebut dengan bai’ najsy atau bai’ al-itsrah.  Dalam praktiknya, penjual biasanya menciptakan penawaran palsu (false demand) atas barang yang dijual. Praktik seperti ini banyak macamnya, misalnya dengan membuat publikasi penawaran di media-media elektronik, lalu ada banyak penelepon yang ingin membeli secara online dan dinyatakan bahwa jumlah barang terbatas. Ada juga yang menjual dengan menyatakan bahwa besok atau bulan depan terjadi kenaikan harga. Bahkan ada yang melibatkan pihak lain untuk datang menawar barang yang sudah ditawar oleh calon pembeli lain.
Dengan adanya penawaran palsu tersebut, calon pembeli akan bersedia membeli dengan harga yang lebih mahal. Akibatnya harga yang terbentuk tidak mencerminkan harga sesungguhnya. Sebagai contoh:  Umumnya harga 1 Kg mangga adalah 10.000, ditawarkan 12.000. lalu ada pembeli yang menawar 10.000 sesuai harga pasar. Pada saat terjadi proses tawar-menawar, tiba-tiba datang pembeli palsu yang bersedia membeli dengan harga 11.000. Dengan adanya tawaran yang lebih tinggi, tentu si calon pembeli pertama terpancing untuk menaikkan tawaran, misalnya 12.000. Jika akhirnya disepakati harganya 12.000, berarti pembeli membayar lebih mahal dari harga normal. 
Dalam islam terdapat beberapa pendapat tentang bai’ najsy. Ibnu Qudamah mengharamkan dengan alasan mengandung unsur penipuan (gharar).  Sedangkan Ahmad Ibn Hanbal menghukumi batal (bathil) dan merusak akad. Sebab dalam Islam akad bisa dianggap sah jika ada unsur kerelaan dari kedua pihak (‘an taradhin), padahal di dalam bai’ najsy pembeli mau membayar lebih tinggi karena ditipu. Oleh karena itu dianggap tidak terpenuhinya unsur kerelaan. Sebagian ulama membolehkan bai’ najsy karena melihat bahwa rukunnya terpenuhi, yaitu : penjual, pembeli, barang, harga dan ijab-kabul. Adapun unsur kerelaan sudah terwakili oleh adanya ijab dan kabul. (Ruslan Nurhadi, 2006, Jual Beli Yang Dibolehkan Dan Yang Dilarang,Pustaka Ibn Katsir)
Membandingkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pihak yang melarangbai’ najsy tidak hanya melihat dari aspek formalnya saja, yaitu terpenuhinya rukun jual-beli, tapi menilai lebih dalam dengan memperhatikan akibat yang ditimbulkan, yaitu terbentuknya harga yang tidak wajar. Pendapat yang mengharamkan ini lebih sesuai dengan ekonomi islam. Sebab jika mengikuti pendapat yang membolehkan, tentu akan berdampak pada maraknya praktik-praktik kecurangan. Jika bai’ najsy dilakukan oleh banyak orang, atau dilakukan secara terus-menerus tentu akan terjadi kenaikan harga dan memicu  inflasi. Sedangkan inflasi termasuk penyakit ekonomi yang akan membebani masyarakat karena melemahkan daya beli.
Selain itu, dalam hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Al-Bukhari dari jalur Ibnu Umar secara tegas menyatakan: “Rasulullah SAW telah melarang jual beli najsy.” Wallahu a’lam bish shawab.