Pertanyaan :
Beberapa waktu yang lalu pemerintah menetapkan kenaikan harga BBM jenis pertamax dan pertamax plus. Menurut Islam, bolehkah pemerintah melakukan hal tersebut?
Maela Husna, Margoyoso

Jawaban :
Penetapan harga dalam ekonomi Islam disebut dengan at-tas’ir. Biasanya penetapan harga dilakukan untuk menanggulangi kondisi tertentu dimana harga terlalu tinggi sehingga memberatkan konsumen, atau sebaliknnya harga terlalu rendah sehingga merugikan produsen dan pedagang. Tentu kedua kondisi tersebut  tidak ideal sehingga diperlukan intervensi pemerintah melalui kebijakannya untuk menetapkan atau membatasi harga.
Ada beberapa pendekatan yang biasa ditempuh pemerintah dalam menetapkan atau membatasi harga. Pertama, menetapkan harga tertinggi, yaitu pemerintah menetapkan batas harga tertinggi yang tidak boleh dilampaui oleh produsen  atau pedagang. Artinya pihak produsen atau pedagang tidak boleh menjual barang dengan harga yang lebih mahal dari yang sudah ditetapkan pemerintah.  Langkah ini diperlukan untuk mengendalikan kenaikan harga agar jangan sampai tidak terkontrol.  Dengan demikian kebijakan ini bertujuan melindungi konsumen.
Kedua, menetapkan harta terendah. Artinya pemerintah menetapkan harga minimum atas komoditas tertentu agar jangan sampai terlalu murah. Misalnya, pada saat panen raya biasanya harga padi akan turun drastis karena stok melimpah. Tidak jarang tengkulak turut mempermainkan harga sehingga petani merugi. Dalam kondisi seperti ini pemerintah dapat menetapkan harga terendah sehingga tengkulak tidak berani membeli padi dari petani di bawah harga yang telah ditetapkan pemerintah. Oleh karena itu kebijakan ini biasanya ditujukan untuk melindungi pihak produsen atau pedagang.
Ketiga, menetapkan harga tunggal. Dalam hal ini harga yang ditetapkan pemerintah sudah jelas dan tidak ada peluang bagi penjual untuk memasang harga lebih mahal atau lebih murah. Kebijakan ini biasanya hanya diterapkan untuk barang-barang yang sangat spesifik. 
Dalam islam, penetapan harga atau at-tas’ir diperbolehkan asal dapat menciptakan keadilan, baik bagi penjual mapun pembeli. Ibn Taimiyah menegaskan bahwa tas’ir diperbolehkan jika merupakan jalan satu-satunya dalam mengatasi fluktuasi harga yang tidak terkendali. Sebaliknya beliau melarang tas’ir yang diserahkan sepenuhnya kepada pihak penjual, karena akan menimbulkan kesewenang-wenangan. (Ahmad Dimyati, 2008).

Meskipun demikian, dalam kondisi normal pembentukan harga yang paling adil adalah yang didasarkan pada kesepakatan (‘an taradhin) antara penjual dan pembeli. Sehingga harga terbentuk secara alamiah melalui mekanisme permintaan dan penawaran sesuai hukum pasar. Tetapi dalam kondisi darurat, pemerintah boleh menetapkan harga dengan tujuan menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat (maslahah ‘ammah) dan menghindari dampak negatif yang luas (dlararul ‘ammah) yang dirasakan masyarakat (Al-Hidayah Syarh al-Bidayah, Juz 4, h. 429). Wallahu a’lam.