Pertanyaan:
Bolehkah seorang Muslim menjadi perantara dagang seperti makelar, blantik dan sejenisnya?
Sodiqin, Bakaran Juana

Jawaban:
Menjadi perantara dagang dalam Islam biasa disebut ‘samsarah’ atau ‘wasathah’ yakni kegiatan menghubungkan antara pelaku akad (misal pembeli dan penjual) dalam suatu perdagangan yang pelakunya diberikan komisi tertentu (Hasyiah Suyuti, juz 7 Hal. 19). Di Indonesia kegiatan perantara tersebut diistilahkan sebagai broker, blantik, calo atau makelar.

Samsarah dilakukan untuk membantu aktivitas bisnis antara penjual dan pembeli. Samsarah sebenarnya tidak terbatas pada kegiatan jual beli saja, tetapi mencakup semua akad yang menawarkan komisi tertentu atas keberhasilan melakukan suatu kegiatan (samsarah) yang diinginkan.

Samsarah diperbolehkan dalam Islam berdasarkan hadist Qais bin Abi Ghorzah “Pada saat kami sedang berjualan di Baqi’, datang Rasul saw. dan kami disebut dengan “samasirah” (calo), kemudian beliau menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo dan bersabda: “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini kadang diselingi dengan sumpah (palsu) dan kata-kata yang tidak bermanfaat, maka perbaikilah dengan (memberikan) sedekah“ (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Hadist tersebut menunjukkan bahwa pada waktu itu Nabi saw. menyaksikan adanya kegiatan perantara dalam berdagang dan tidak melarangnya. Bahkan Nabi saw. menetapkannya sekaligus menganjurkan untuk menyelinginya dengan sedekah sebagai penebus atas perbuatan yang kurang baik yang biasa terjadi seperti sumpah palsu, omong kosong, dan lain sebagainya.

Perantara dalam kegiatan perdagangan sangat dibutuhkan masyarakat karena ada sebagian orang yang terkadang kesulitan mencari barang tertentu yang diinginkan, seperti tanah, mobil, dan lain-lain, atau bagi penjual, terkadang kesulitan mencari seorang pembeli. Dengan adanya perantara akan memudahkan kedua pihak, baik penjual maupun pembeli.

Dalam fikih, kegiatan samsarah termasuk dalam akad ju’alah (sayembara) atau ijarah (sewa). Jika pekerjaan dan waktu terkait ditentukan secara jelas dalam akad, maka kegiatan itu disebut ijarah, jika pekerjaan tidak ditentukan dalam batas waktu tertentu, maka disebut ju’alah. (Lihat Raudhatuttalibin, Juz 5, Hal. 275).

Ketentuan yang berlaku terkait dengan akad samsarah mengacu pada ketentuan yang berlaku pada akad ijarah atau ju’alah, meliputi kejelasan pihak pelaku, pekerjaan, upah dan batas waktu jika menggunakan akad ijarah.

Dalam samsarah, hal yang perlu diperhatikan oleh seorang perantara agar pekerjaannya menjadi halal dan berkah adalah tidak diperbolehkan melakukan praktik ghish dan gharar (menipu) dan najsy(rekayasa pasar) dengan memberi informasi yang tidak benar untuk mempengaruhi calon pembeli. (lihat Dialog Interaktif tgl. 25 Juni 2015). Kejujuran sikap menjadi syarat mutlak seorang muslim dalam aktivitas bisnis. Wallahu a’lam.