Tanya Jawab 7:
Ketika Ramadan, masyarakat justru meningkat konsumsinya, meskipun puasa mengajarkan orang untuk menahan nafsu, bagaimana pandangan Islam ?

Khoirun Ni’am, Pati

Jawaban:
Dalam Islam, harta dilihat dari dua hal. Pertama, sumbernya, apakah dari jalan yang halal ataukah dari jalan yang haram. Kedua, tasharrufnya, yaitu menggunakan harta yang diperoleh, apakah di jalan yang dianjurkan agama atau yang dilarang. Dua-duanya harus benar. Artinya, harta harus bersumber dari jalan yang halal dan digunakan untuk sesuatu yang dianjurkan agama. Tidak boleh harta yang halal digunakan untuk hal-hal yang dilarang agama, seperti membeli minum-minuman keras, narkoba, prostitusi, dan lain-lain. Nabi Muhammad SAW bersabda: Pada hari kiamat seorang hamba selalu ditanya empat hal, dari umurnya digunakan untuk apa, dari waktu mudanya dihabiskan untuk apa, dari hartanya dari mana ia memperoleh dan di mana digunakan, dan dari ilmunya, bagaimana ia mengamalkannya (HR. Tirmidzi). Semua jenis kenikmatan, mulai dari rasa aman, sehat, waktu luang, makanan, minuman, tempat, dan lain-lain akan dipertanggungjawabkan (Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz 15, h. 782).

Dalam hal tasarruf harta, Islam memberikan batasan, yaitu tidak berlebih-lebihan (israf) dan tidak mempersempit (iqtar), tapi tengah-tengah di antara keduanya. Dalam QS. Al-Furqan 25:67 Allah  SWT berfirman: dan orang-orang yang ketika menginfakkan hartanya mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak mempersempit diri, tapi tengah-tengah di antara keduanya. Artinya, membelanjakan harta sesuai dengan kebutuhan, tidak berlebih-lebihan dan tidak kurang (Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz 10, h. 113). Selain israf dan iqtar, Allah juga melarang melakukan tabdzir, yaitu menghambur-hamburkan harta. Menurut Ibn Katsir, tabdzir adalah menggunakan harta untuk maksiat, sesuatu yang tidak benar, dan kerusakan. Dalam bahasa sekarang, tabdzir adalah pemborosan atau belanja yang tidak perlu dan tidak berguna (Sahal Mahfudh, Dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh, 2003, h. 134-135).

Puasa sebagaimana dijelaskan Imam Ghazali adalah wahana untuk menahan nafsu, baik dari hubungan seks, makan, minum, menggunjing, berdusta, menebar fitnah, mengadu domba, dan lain-lain. Puasa harus digunakan untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah dan menahan diri dari berlebih-lebihan dalam makanan, minuman, pakean dan sejenisnya. Salah satu indikatornya adalah ketika berbuka puasa tidak memperbanyak makan sampai perutnya kekenyangan, karena Allah membenci perut yang dipenuhi makanan yang halal. Bagaimana seorang yang berpuasa mampu mengalahkan musuh Allah dan menghancurkan syahwatnya apabila ketika berbuka melakukan pembalasan terhadap apa yang ditinggalkan pada siang hari (Imam Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Juz 1, h. 235-236).

Melihat keterangan di atas, maka umat Islam seyogianya belajar menahan nafsu ketika membelanjakan harta supaya sesuai dengan kebutuhan, bukan sesuai dengan keinginan, dan terhindar dari israf (berlebih-lebihan) dan tabdzir(menghambur-hamburan harta). Harta yang ada jangan dihabiskan untuk konsumsi, tapi sebaiknya digunakan untuk membangun masa depan dengan banyak menabung dan investasi lain yang bermanfaat dalam jangka panjang. Budaya menabung harus digalakkan supaya ke depan umat Islam mampu menggerakkan usaha-usaha produktif menuju kemandirian dan kebahagiaan hakiki, lahir dan batin. Wallahu A’lam Bish Shawab.