Pertanyaan:
Sampai sekarang saya masih bingung, apa perbedaan riba dengan bunga bank ?

Abu Tsaqib Yogyakarta
Jawaban:
Riba secara bahasa berarti tambahan (ziyadah)dalam istilah fiqh, riba adalah tambahan yang diambil oleh orang yang memberikan pinjaman hutang (kreditur/muqridl) kepada orang yang berhutang (debitur/mustaqridl) sebagai kompensasi dari waktu yang ditetapkan.
Riba sudah dipraktikkan oleh masyarakat pra-Islam, sehingga Al-Qur’an membutuhkan waktu panjang untuk mengharamkannya. Ada empat tahap keharaman riba. Pertama, bersifat informatif, yaitu dalam QS. Al-Rum 30:39 Allah menjelaskan bahwa harta yang diambil dari riba hakikatnya tidak mengalami kenaikan. Kedua, bersifat historis, yaitu dalam QS. An-NIsa’ 4:160-161, Allah menceritakan perbuatan kaum Yahudi yang tetap memakan harta riba meskipun telah dilarang, akhirnya mereka mendapatkan laknat dan murka Allah. Ketiga, larangan terbatas, yaitu dalam QS. Ali Imran 3:130, Allah menjelaskan larangan memakan harta riba yang berlipat ganda. Keempat, dalam QS. Al-Baqarah 278-279, Allah menegaskan larangan riba sampai ke akar-akarnya dan menyatakan perang terhadap ekonomi ribawi (Muhammad Ali As-Shabuni, Rawa’iul Bayan, Juz 1, h. 300-307).
Jika para ulama sepakat tentang haramnya riba, lalu bagaimana dengan bunga bank ?
Definisi riba dalam fiqh ini sejalan dengan definisi bunga  (interest), yaitu: a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned. Artinya tanggungan atas pinjaman uang yang biasanya dinyatakan dalam presentase dari uang pinjaman tersebut (Muhamad, 2011, Manajemen Bank Syari’ah, h. 42). Oleh karena itumayoritas ulama mengharamkan bunga, baik yang ada dalam perbankan atau yang lain, karena termasuk dalam riba nasiah, yaitu adanya tambahan dari jumlah uang yang dipinjam yang dibatasi waktu, satu bulan, satu tahun, dan seterusnya.
Sebagian ulama ada yang memperbolehkan, seperti Fahmi Huwaidi, Abdul Mun’im, dan Muhammad Sayyid Thanthawi, namun hujjahnya lemah. Hujjah yang digunakan bahwa statement “setiap hutang yang mendatangkan kemanfaatan bagi yang menghutangi adalah riba” adalah bukan hadis. Hujjah ini benar, namun Nabi dalam hadisnya melarang perbuatan salaf, yaitu seseorang menghutangi dengan syarat menjual rumahnya atau mengembalikan dengan lebih baik atau lebih banyak. Hadis ini substansinya sama dengan statemen di atas. Hujjah kedua bahwa bertransaksi di bank dengan sistem bunga menguntungkan pemerintah dan bisa dimanfaatkan untuk orang-orang fakir miskin. Hujjah ini ditolak karena Allah adalah Tuhan Yang bersih dan tidak menerima kecuali hal yang bersih (Allahu Thayyibun La Yaqbala Illa Thayyiban)(Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 5, h. 3741-3746). Jadi, sumber harta harus halal dan cara penggunaannya juga harus halal. Kedua-duanya sangat diperhatikan dalam Islam. Melihat hal ini, maka kita lebih mantap mengikuti pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa bunga bank termasuk riba. Tentu, bagi kita yang sudah terbiasa melakukan transaksi dengan model bunga, seyogianya mulai dikurangi sedikit demi sedikit secara bertahap dan berlatih bertransaksi di lembaga keuangan yang bebas dari bunga.Wallahu A’lam Bisshawab