Tanya:
Assalamu’alaikum. Saya pernah mendengar bahwa kalau ekonomi syariah diterapkan di Indonesia, mata uang yang sekarang akan diganti dengan uang dinar dan dirham seperti pada masa Nabi Muhammad. Apa benar demikian? Terima kasih.
Sulistyorini, Blora.
Jawab:
Wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuh.
Mata uang emas (dinar) dan perak (dirham) pernah dipergunakan pada masa awal-awal Islam, bahkan jauh sebelum Islam datang masyarakat di wilayah Arab, Afrika dan kawasan lain. Penggunaan emas dan perak sebagai mata uang merupakan perkembangan dari praktik ekonomi barter dimana orang saling bertukar barang yang dimiliki untuk mendapatkan barang lain yang diinginkan.
Tetapi barter mengalami banyak kendala, terutama sulit menentukan perbandingan nilai atau harga antarbarang yang akan dipertukarkan. Selain itu sistem barter tidak selalu berhasil manakala tidak terjadi kesesuaian keinginan atau kebutuhan antar pihak yang akan melakukan pertukaran barang.
Sebagai contoh, ada orang yang membutuhkan 1 kg beras, tetapi dia hanya memiliki 1 ekor kambing. Pada sisi lain ada orang yang memiliki beras, tetapi sedang membutuhkan pakaian, bukan kambing.
Dapat dibayangkan betapa sulitnya terjadi transaksi antara kedua orang tersebut. Kalau dengan cara barter tentunya sulit untuk mengukur perbandingan nilai kedua barang. Dengan ditemukannya emas dan perak serta bahan-bahan lain sebagai uang, proses transaksi menjadi lebih mudah dilakukan.
Dalam hal ini uang memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai alat tukar, alat pengukur nilai, alat penyimpan nilai dan fungsi-fungsi turunan lainnya. Selain itu, pemilihan emas dan perak sebagai bahan pembuat uang memiliki kelebihan dalam hal daya tahan yang lama dan stabilitas nilai sehingga tidak mudah memicu inflasi.
Meskipun demikian, dalam perkembangan ekonomi modern yang membutuhkan kecepatan dan efisiensi transaksi serta seringkali volume yang sangat besar, penggunaan emas dan perak saat ini dinilai tidak efisien lagi. Uang emas dan perak hanya dapat digunakan untuk transaksi di tempat (on the spot). Sedangkan transaksi dalam jaringan (daring) tidak mungkin pembayaran menggunakan uang emas dan perak secara tunai.
Demikian pula dengan nilai barang (intrinsik) emas dan perak yang semakin tinggi, jika digunakan sebagai mata uang dikhawatirkan akan memicu peleburan uang emas dan perak menjadi perhiasan sehingga kalau dijual akan mendapatkan keuntungan lebih banyak.
Dampak lain adalah potensi pemalsuan mata uang emas dan perak dengan bahan lain atau dicampur dengan logam lain yang lebih murah. Jika hal ini terjadi, tentu saja akan berlaku hukum Gresham yang menyatakan bahwa uang dengan kualitas buruk akan mendorong keluar uang dengan kualitas baik dari peredaran.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah, penggunaan emas dan perak sebagai mata uang dihadapkan pada problem tidak meratanya kepemilikan cadangan emas dan perak bagi setiap negara. Suatu negara mungkin memiliki cadangan emas dan perak melimpah, sedangkan negara lain memiliki cadangan yang sedikit bahkan sama sekali tidak punya.
Kita tentu tidak menginginkan terulang kembali era imperealisme dimana perebutan sumber daya termasuk emas dan perak mengakibatkan penjajahan suatu negara terhadap negara lain terjadi lagi.
Dari penjelasan di atas, penerapan kembali mata uang berbahan emas dan perak kecil kemungkinannya meskipun tidak mustahil. Bagaimana jalan keluarnya? Saat ini uang yang berlaku adalah fiat money, yaitu uang yang nilainya didasarkan pada kepercayaan atau jaminan yang diberikan oleh suatu negara.
Nilai uang tidak dilihat lagi berdasarkan bahannya (intrinsik), melainkan nilai angka yang tertera (nominal) dan nilai tukarnya (ekstrinsik). Penggunaan mata uang kertas seperti sekarang sama sekali tidak menyimpang dari aturan syariah. Sebaliknya justru memperkuat peran negara untuk mengatur dan mewujudkan kemaslahatan bagi warganya melalui peraturan dan kewenangan yang dijalankan. Wallahu a’lam. (H15-44)