Pertanyaan:
1.       Apakah dalam sistem bisnis koperasi syari’ah ada semacam target (keuntungan)?
2.       Benarkah ada denda jika terjadi keterlambatan pembayaran?
Yazid, Trangkil Pati

Jawaban :
1.       Sebagaimana lembaga keuangan pada umumnya Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah (KJKS) menetapkan keuntungan dari pembiayaan yang diberikan kepada nasabah atau anggota. Hanya saja, karena menggunakan prinsip syari’ah, teknik penetapan keuntungan pada KJKS juga harus sesuai dengan syari’ah sebagaimana cara berikut:

a.       Jika pembiayaan menggunakan prinsip jual beli (murabahahsalm, istishna’)  teknik penghitungannya dapat dilakukan dengan cara;
Pertama, Harga Jual KJKS = Harga Beli + Keuntungan.
Contoh: Jika nasabah mengajukan pembiayaan pembelian sepeda motor, maka KJKS akan membelikan motor seharga Rp. 10.000.000, kemudian KJKS akan menjual kembali motor tersebut dengan mengambil keuntungan Rp. 1.000.000. Sehingga harga jual KJKS adalah  10.000.000 + 1.000.000 = Rp. 11.000.000. Nasabah dapat membayar tunai atau mengangsur. Jika mengangsur misalnya 10 kali, maka setiap bulan nasabah membayar angsuran pokok Rp.1.000.000 dan angsuran keuntungan bank Rp. 100.000.
Kedua, Harga Jual KJKS = Harga Beli + (Harga Beli x % x waktu).
Contoh: Nasabah mengajukan pembelian motor Rp. 10.000.000. KJKS menetapkan kentungan 10% dan pembayaran dicicil selama 10 bulan. Maka harga jual KJKS adalah 10.000.000 + (10.000.000 x 1% x10) = Rp. 11.000.000. Angsuran nasabah per bulan adalah 1.000.000 (harga pokok) ditambah 100.000 (keuntungan bank).

b.      Jika pembiayaan menggunakan prinsip bagi hasil (Mudharabah, musyarakah), maka perhitungannya:
-          Jika menggunakan mudharabah (modal kerja) dimana seluruh dana milik KJKS, terlebih dulu disepakati nisbah bagi hasil antara KJKS dan nasabah. Misalnya 40% untuk KJKS dan 60% untuk nasabah. Keuntungan usaha yang dijalankan nasabah akan dibagi dua, 40% untuk KJKS 60% untuk nasabah. 
-          Jika menggunakan musyarakah (penyertaan modal), nisbah ditentukan berdasarkan perbandingan modal disetor masing-masing. Misalnya: modal KJKS 600.000, modal nasabah  400.000. Total modal = 1.000.000. Maka nisbahnya 60% untuk KJKS dan 40% untuk nasabah. Jika keuntungan usaha adalah 500.000, maka bagi hasil untuk KJKS = 60%x500.000 = 300.000, sedangkan bagi hasil nasabah = 40%x500.000 = 200.000. Dengan demikian nasabah wajib mengembalikan modal KJKS sebesar 600.000 dan porsi keuntungan sebesar 300.000, Total 900.000. Dana nasabah adalah modal sebesar 400.000 ditambah porsi keuntungan 200.000, total 600.000.

Sebagai catatan, umumnya masyarakat melihat pada hasil akhirnya saja, sehingga seperti tidak ada bedanya dengan sistem kredit bank atau koperasi konvensional, yaitu meminjam uang lalu mengembalikan pokok pinjaman ditambah bunga. Anggapan demikian salah, karena dalam sistem kredit, besarnya bunga dikalikan dengan pokok pinjaman dan sifatnya tetap. Risiko apapun yang terjadi, nasabah tetap wajib membayar pinjaman dan bunga. Sedangkan dalam sistem syari’ah berbeda. Dalam sistem jual beli keuntungan ditentukan atas dasar kesepakatan. Sedangkan dalam sistem bagi hasil keuntungan dihitung berdasarkan porsi modal atau pekerjaan. Jika keuntungan sedikit, maka bagi hasil juga turun, jika keuntungan besar maka bagi hasil juga naik. Artinya sistem bagi hasil menuntut kejujuran nasabah dan lebih adil.
2. Sanksi keterlambatan pembayaran pada KJKS atau Bank Syari’ah didasarkan pada Fatwa DSN-MUI Nomor 17/ DSN-MUI/IX/2000. Sanksi ini diberikan kepada nasabah yang sebenarnya mampu membayar tapi menunda-nunda kewajibannya untuk membayar sehingga merugikan pihak Bank. Di dalam fiqih denda ini disebut ta’zir (hukuman) yang dalam lembaga keuangan syariah berupa denda sejumlah uang terhadap nasabah yang diperuntukkan sebagai dana sosial. Dalam  surah al-Maidah disebutkan “Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad …”. Sedangkan hadis Nabi saw. menyatakan: “Penundaan pembayaran hutang orang kaya adalah zalim” (HR.Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah, Ahmad ibn Hanbal dan ad-Darami).